Aku benar-benar dibuatnya terpojok. Ketika tadi di kampus dia berkata,
“Jangan
pernah meragukan keseriusanku, Mey”.
***
Dan benar, sore ini
tetibanya aku di rumah, sudah ada seonggok kotak hati warna merah di meja
belajarku.
“Tadi
ada yang datang, nitip itu buat kamu”,
kata Bunda sedikit berteriak, sembari memasak di dapur.
“Yaa
Bun..”, jawabku
setengah berteriak pula.
Belum sempat aku
melepas tas dan berganti pakaian, ku dekati perlahan bingkisan berpita putih
itu. Aku ragu-ragu memegangnya. Aku berpikir sejenak, apa yang harus aku
lakukan…
(1) Membuka,
menerima dan bilang makasih sama yang ngasih,
(2) Langsung
balikin sama yang ngasih,
(3) Intip dulu, baru balikin sama yang ngasih.
Pikiranku sedang
berkecamuk antara pilihan-pilihan itu. Akhirnya aku memilih –walau ga ada dalam pilihan sih, heheu-
tetap membiarkan bingkisan itu di meja dan kutinggalkan melakukan aktivitas
harian di rumah, hingga ku terlelap.
***
Saat di sepertiga
malam aku bangun menunaikan sunnah, aku melihat kembali ‘kotak’ itu. Sekejap,
aku merasakan ‘rasa’ yang seharusnya
belum ada. Dengan sigap ku mohon pada Sang Pemilik Hati untuk menguatkan aku,
jangan sampai hati ini rusak dan melukai-Nya.
Malam ini aku
menangis pedih, merasakan patah hati dan sedih yang menusuk.
Aku menyeka
airmataku.
Namun dengan cepat,
pipiku basah lagi. Airmataku jatuh tanpa seizin dariku. Aku tak bisa
mengendalikan tangisku. Jiwaku diliputi kesedihan mendalam. Sebisa mungkin
kutahan isak tangisku, agar tak ada yang mendengar. Aku memang lebih memilih
diam dalam setiap rasa.
Hingga pagi
kulanjutkan tilawahku, dan tiba saatnya untuk persiapan dan berangkat kuliah.
Hari Jum’at, hari full schedule dalam pekan ini. Kuliah,
mentoring, syuro, survey thesis,
belum pesenan Bunda untuk dibelikan beberapa barang.
***
