Amal-amal kita, tidak hanya
dicatat para malaikat. Karena cerita-cerita dan kesan yang kita tinggalkan di
dunia setelah mati, serupa cermin nilai dari perilaku kita selama hidup. Alangkah
indahnya, sebuah kematian yang bisa meninggalkan cerita-cerita baik pada
keluarga. Alangkah bahagianya, sebuah kematian yang mengesankan jejak hidup
yang menjadi pelajaran kebaikan bagi mereka yang masih menjalani hidup. Alangkah
gembiranya, bila kematian kita menyisakan kesan dari amal-amal saleh yang
bermanfaat untuk orang lain.
Di akhirat kelak, taka da sesuatu
yang paling disesali penghuni surge kecuali penyesalan mereka terhadap waktu
yang hilang di dunia tanpa diisi amal saleh. Karena itu, ketika ada seorang
saleh ditanya, “Kenapa engkau melelahkan jiwamu dalam beribadah?” Ia menjawab, “Aku
ingin mengistirahatkan jiwaku.” Istirahat yang dimaksud, adalah istirahat di
dunia dengan jiwa yang tenang setelah beribadah. Juga istirahat di akhirat,
dengan memasuki kehidupan yang begitu menentramkan dan menggembirakan.
Saudaraku,
Umur hidup itu, menurut
Ibnul Jauzi rahimahullah, tak beda dengan tempat jual beli berbagai macam
barang. Ada barang yang bagus dan juga yang jelek. orang yang berakal, pasti akan membeli barang yang bermutu meski harganya mahal. Karena barang itu lebih awet dari barang jelek meski harganya murah. "Orang yang tahu kemuliaan alam semeste harus meraih sesuatu yang paling mulia yang ada di alam semesta ini. Dan sesuatu yang paling mahal nilainya di dunia ini adalah mengenal Allah swt," kata Ibnul Jauzi. Seseorang yang mengenal Allah swt, berarti ia mengetahui ke-Maha Besaran-Nya. Berarti juga mengetahui kekerdilan dirinya, kelemahan dirinya, ketergantungan dirinya dengan Yang Maha Berkuasa. Pengenalan seperti ini yang bisa memunculkan kekuatan dan ketangguhan dalam mengarungi gelombang kehidupan. Tidak takut, tidak lemah, dan tidak tergantung kepada siapa pun, kecuali Allah dan selama berada di jalan Allah. Tidak senang, tidak gembira dan tidak bersukacita kecuali bersama Allah.
Saudaraku,
Lihatlah perkataan Masruq, seorang mufassir yang juga sahabat Said bin Jubair, yang pernah berujar, "Tak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajahku di tanah (sujud). Aku tidak pernah bersedih karena sesuatu melebihi kesedihanku karena tidak bisa sujud kepada Allah." (Siyar A'lamin Nubala, IV/65).
Sujud adalah saat-saat seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya. Sujud, juga tanda ketundukan dan kerendahan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sujud, juga merupakan kepasrahan, ketaatan, kerinduan dan kecintaan seorang hamba pada Tuhannya. Kondisi-kondisi seperti itulah yang sangat didambakan Masruq hingga tak ada lagi kesedihan baginya, kecuali ia tidak bisa melakukan sujud di hadapan Allah swt.
Saudaraku,
Itulah gambaran keyakinan yang tertanam kuat dalam jiwa orang-orang saleh, pada pejuang da'wah Islam. Ketundukan, kedekatan dan keyakinannya pada Allah, menjadikan tekad mereka seperti baja dan keberanian yang tak kenal takut. Basahnya lidah mereka oleh dzikir, larutnya hati mereka dalam kecintaan pada Allah, tunduknya jiwa mereka pada keagungan Allah, memunculkan kepribadian yang kuat dan tangguh.
Lihatlah Saudaraku,
Bagaimana penuturan salah seorang anak dari Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah, tokoh pejuang Palestina abad ini yang beberapa waktu lalu gugur oleh rudal Israel. "Ayah tidak mencintai dunia. Ia lebih mencintai rumah akhirat. Banyak orang yang menyarankan agar ayah mendiami rumah sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Pemerintah otorita Palestina juga pernah menawarkan sebuah rumah yang besar di perkampungan Ghaza. Tapi ayah menolak tawaran itu. Ayahku lebih menginginkan akhirat sehingga ia tidak begitu memperhatikan perabotan duniawi. Luas rumahnya kecil, hanya tiga ruang. Tanpa keramik di lantai, dan ruang dapur yang sudah rusak. Bila musim dingin tiba, kondisi rumah sangat dingin. Sebaliknya bila musim panas datang, ruangan rumah terasa panas sekali. Ayah tidak pernah berpikir untuk memperbaiki rumahnya. Sekali lagi, ia benar-benar sibuk mempersiapkan rumahnya di akhirat." Itulah rahasia ketegaran Syaikh Ahmad Yasin.
Rumah akhirat. Pernahkah terlintas dalam hati kita tentang rumah itu? Pernahkah kita berencana dan bermimpi memiliki rumah yang indah, di akhirat, bukan di dunia? Bagaimana kita membayangkan kesan akhir yang kita tinggalkan pada keluarga, setelah kita berpisah dengan mereka di dunia? Kebanggaan-kah atau kebalikannya? Apakah mereka juga akan berkata, kita lebih mencintai dan menginginkan rumah akhirat?
Saudaraku,
Syaikh Ahmad Yasin memberi pelajaran besar bagi kita tentang keyakinannya pada keputusan Allah swt. Bahwa apa yang diputuskan oleh Allah tetap akan terjadi, apapun usaha yang kita lakukan. Syaikh Ahmad Yasin juga memberi pendidikan langsung kepada siapa pun, tentang batas apa yang harus diberikan seseorang yang menginginkan mati di jalan Allah.
Sekitar lima menit sebelum rudal Israel ditembakkan ke arahnya, Syaikh yang duduk di kursi roda itu, seorang anaknya, Abdul Ghani sempat mengingatkannya untuk berhati-hati dengan mengatakan, "Ayah, ada pesawat pembunuh di atas." Apa jawaban Syaikh Ahmad Yasin ketika itu? "Ya, saya di sini sedang menanti pesawat pembunuh itu juga." Benar-benar tak ada keraguan dan ketakutan sedikit pun.
Saudaraku,
Kita di sini, sedang menanti detik demi detik kematian yang pasti menjemput. Menunggu saat kita menarik nafas terakhir, dan menghembuskannya lagi untuk yang terakhir. Saat udara dingin merayap dari ujung jemari kaki hingga bagian kepala. Saat mata terkatup dan tak bisa terbuka lagi. Ketika badan terbujur dan tak bisa bergerak. Ketika kita masuk dalam keranda, dan diangkat oleh anggota keluarga dan teman-teman kita.
Setelah itu,
Biarlah orang-orang berbicara tentang kita.
[Tarbawi, edisi 83 Th. 5 / Rabi'ul Awal 1425 H / 29 April 2004 M]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar