Rabu, 05 Maret 2014

GOLPUT ATAU MEMILIH?

[Konsultasi Syariah bersama Dr. Muinudinillah Bashri, Lc., M.A.]


Belum lama ini kaum muslimin disibukkan dengan polemik yang tajam dalam masalah ikut pemilu, atau golput. Kaum muslimin di Indonesia memiliki pendapat yang kontradiktif, ada yang menganggap golput itu wajib, dan memilih itu haram, bahkan syirik. Sementara ada yang mengharamkan golput dan mewajibkan memilih.

Yuk, kita bicarakan dulu hukum demokrasi. Demokrasi -yang berarti pemerintahan dan otoritas di tangan rakyat, dan benar atau salah, sesuatu ditentukan oleh suara mayoritas rakyat-, tanpa melihat apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya, ini jelas-jelas suatu kekufuran. Tidak ada perselisihan di antara ulama. Suara rakyat bukan sumber otoritas dan hukum. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya diin di sisi Allah adalah Islam”. Islam meyakini bahwa kekuasaan tertinggi hanya pada Allah, hukum hanya milik Allah, sedang rakyat bertugas menjalankan hukum Allah.

Adapun menggunakan atau memanfaatkan iklim kebebasan sistem demokrasi untuk berkompetisi dengan para pengikut ideology selain Islam, untuk menawarkan konsep Islam sebagai konsep terbaik, dan menawarkan orang-orang shalih yang capable dan kredibel untuk memimpin negeri ini dengan undang-undang Islam dan hukum Islam, tidak ada alasan untuk menolaknya. Ini bukan berarti kita beriman dengan demokrasi. Kita hanya memanfaatkan kebebasan untuk memantapkan sistem Islam di negeri Indonesia yang kita cintai.

Jadi masalahnya bukan golput atau tidak golput. Memilih dalam pemilu tidak wajib atau wajib, jawabannya sangat kondisional. Jika masih ada caleg dan ca-eks (calon eksekutif) yang bisa diharapkan membawa Indonesia lebih baik, apalagi rival di lapangan caleg dan ca-eks yang ahli maksiat, Islam mewajibkan kita untuk menolak mudharat dengan menggagalkan mereka yang anti kebaikan dan kebenaran, serta mencari maslahat dengan mendukung mereka yang pro kebenaran.




Tapi jika tidak ada caleg/ca-eks yang dipercaya karena semua rusak, golput bisa jadi pilihan. Mungkin ada yang bertanya “tapi Indonesia kan sekuler, ngapain ikut di dalamnya”? Ada contoh dari nabi Yusuf as., beliau hidup di Negara kafir, rajanya kafir, dan rakyatnya kafir. Namun, ketika beliau ditawari posisi di pemerintahan, beliau menerimanya, bahkan menentukan posisi yang tepat sebagai pemegang logistik. Jadi, kita boleh memanfaatkan kekuasaan untuk berdakwah, walaupun tidak bisa dengan serta merta mengubah undang-undang.

Demikian juga ketika Raja Najasyi masuk Islam, beliau tidak serta merta meninggalkan kekuasaannya. Dan, karena Negara yang beliau pimpin adalah Negara kafir dan sistemnya juga kafir, beliau tetap memimpin negeri itu dan memanfaatkan kepemimpinannya untuk melindungi orang yang lemah, sampai beliau meninggal dunia.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah juga memfatwakan agar seorang menerima jabatan atau tetap memegang jabatan yang mampu ia laksanakan dengan baik, dan menekan sebagian keburukan yang ia mampu. Sebab, kalau itu ditinggalkan, akan diisi orang yang buruk. Berbeda pendapat dalam masalah boleh memilih atau tidak, golput atau ikut memilih, silakan saja, tetapi jangan sampai mengkafirkan orang yang ikut pemilu. Jika parlemen tanpa misi Islam, hanya sekadar mencari penghasilan dan mengamini apapun keputusan parlemen, ini yang tidak diterima. Adapun yang ingin berjuang, kita doakan dan ingatkan, agar tetap menjaga integritas diri, kelurusan niat dan manhaj Islam.

Saya tanyakan langsung kepada Syekh Bin Baz, Syekh Utsaimin, dan Syekh Abdul Aziz Ali berkaitan dengan Negara Indonesia yang sekuler, apakah boleh kaum muslimin mencalonkan orang yang kuat dan shalih di kalangan mereka, agar menjadi anggota legislative untuk berjuang membuat undang-undang yang berlandaskan Islam, jawabannya, beliau semua membolehkannya.


Harapan kita, partai-partai Islam menjadikan demokrasi hanya sarana untuk mengubah Indonesia menjadi negeri yang menjadikan Allah sebagai sumber hukum, sumber kepemimpinan, sumber aturan, dan tidak menjadikan demokrasi sekuler sebagai ideologi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar