[Konsultasi Syariah bersama Dr. Muinudinillah
Bashri, Lc., M.A.]
Belum lama ini kaum
muslimin disibukkan dengan polemik yang tajam dalam masalah ikut pemilu, atau
golput. Kaum muslimin di Indonesia memiliki pendapat yang kontradiktif, ada
yang menganggap golput itu wajib, dan memilih itu haram, bahkan syirik. Sementara
ada yang mengharamkan golput dan mewajibkan memilih.
Yuk, kita bicarakan
dulu hukum demokrasi. Demokrasi -yang berarti pemerintahan dan otoritas di
tangan rakyat, dan benar atau salah, sesuatu ditentukan oleh suara mayoritas
rakyat-, tanpa melihat apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya, ini jelas-jelas
suatu kekufuran. Tidak ada perselisihan di antara ulama. Suara rakyat bukan
sumber otoritas dan hukum. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya diin di sisi Allah adalah Islam”. Islam meyakini bahwa
kekuasaan tertinggi hanya pada Allah, hukum hanya milik Allah, sedang rakyat
bertugas menjalankan hukum Allah.
Adapun menggunakan
atau memanfaatkan iklim kebebasan sistem demokrasi untuk berkompetisi dengan
para pengikut ideology selain Islam, untuk menawarkan konsep Islam sebagai
konsep terbaik, dan menawarkan orang-orang shalih yang capable dan kredibel untuk memimpin negeri ini dengan undang-undang
Islam dan hukum Islam, tidak ada alasan untuk menolaknya. Ini bukan berarti
kita beriman dengan demokrasi. Kita hanya memanfaatkan kebebasan untuk
memantapkan sistem Islam di negeri Indonesia yang kita cintai.
Jadi masalahnya
bukan golput atau tidak golput. Memilih dalam pemilu tidak wajib atau wajib,
jawabannya sangat kondisional. Jika masih ada caleg dan ca-eks (calon
eksekutif) yang bisa diharapkan membawa Indonesia lebih baik, apalagi rival di
lapangan caleg dan ca-eks yang ahli maksiat, Islam mewajibkan kita untuk
menolak mudharat dengan menggagalkan mereka yang anti kebaikan dan kebenaran,
serta mencari maslahat dengan mendukung mereka yang pro kebenaran.
Tapi jika tidak ada
caleg/ca-eks yang dipercaya karena semua rusak, golput bisa jadi pilihan. Mungkin
ada yang bertanya “tapi Indonesia kan sekuler,
ngapain ikut di dalamnya”? Ada contoh dari nabi Yusuf as., beliau hidup di Negara
kafir, rajanya kafir, dan rakyatnya kafir. Namun, ketika beliau ditawari posisi
di pemerintahan, beliau menerimanya, bahkan menentukan posisi yang tepat
sebagai pemegang logistik. Jadi, kita boleh memanfaatkan kekuasaan untuk
berdakwah, walaupun tidak bisa dengan serta merta mengubah undang-undang.
Demikian juga ketika
Raja Najasyi masuk Islam, beliau tidak serta merta meninggalkan kekuasaannya. Dan,
karena Negara yang beliau pimpin adalah Negara kafir dan sistemnya juga kafir,
beliau tetap memimpin negeri itu dan memanfaatkan kepemimpinannya untuk melindungi
orang yang lemah, sampai beliau meninggal dunia.
Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah juga memfatwakan agar seorang menerima jabatan atau tetap memegang
jabatan yang mampu ia laksanakan dengan baik, dan menekan sebagian keburukan
yang ia mampu. Sebab, kalau itu ditinggalkan, akan diisi orang yang buruk. Berbeda
pendapat dalam masalah boleh memilih atau tidak, golput atau ikut memilih,
silakan saja, tetapi jangan sampai mengkafirkan orang yang ikut pemilu. Jika parlemen
tanpa misi Islam, hanya sekadar mencari penghasilan dan mengamini apapun
keputusan parlemen, ini yang tidak diterima. Adapun yang ingin berjuang, kita
doakan dan ingatkan, agar tetap menjaga integritas diri, kelurusan niat dan
manhaj Islam.
Saya tanyakan
langsung kepada Syekh Bin Baz, Syekh Utsaimin, dan Syekh Abdul Aziz Ali
berkaitan dengan Negara Indonesia yang sekuler, apakah boleh kaum muslimin
mencalonkan orang yang kuat dan shalih di kalangan mereka, agar menjadi anggota
legislative untuk berjuang membuat undang-undang yang berlandaskan Islam,
jawabannya, beliau semua membolehkannya.
Harapan kita,
partai-partai Islam menjadikan demokrasi hanya sarana untuk mengubah Indonesia
menjadi negeri yang menjadikan Allah sebagai sumber hukum, sumber kepemimpinan,
sumber aturan, dan tidak menjadikan demokrasi sekuler sebagai ideologi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar