Aku berjalan di
lorong kampus agak tergesa. Di pikiranku sudah terjadwal urutan –kayak robot-
harus ke arah mana aku berjalan. Aku memang tipe prosedural. Semua agenda sudah
kuruntutkan setiap harinya, bahkan per jam nya. Hal ini bukan karena tak
berdasar. Aku yang notabene bukan anak kos, yang setiap hari ngelaju
Bantul-Jogja, tak mau ada hal yang tertinggal. Karena, jika begitu akan sangat
repot ngambil ke rumah. Jadi, sehari sebelumnya pasti sudah kujadwalkan untuk
agenda keesokan harinya.
Kembali ke cerita,
“Tak ada waktu untuk
bersantai-santai…”, pikirku.
Ku tengok jam di
tangan. Ah, pukul 10.55. pukul 11.00 aku janji bertemu adek-adek binaan.
“Aakuu ga boleh
telat!”, teriakku dalam hati.
Seusai teriakanku
dalam hati, kutatap jalan ke depan beberapa meter. Ups! Ada sesuatu… eh
maksudku seseorang…yang…KUHINDARI HARI INI!
Ada ikhwan berdiri di
depanku dengan mengembangkan senyum di bibirnya. Bisa kupastikan bahwa, dia
menungguku. Ah, tampak silau di mataku. Ya, namanya Alan. Harlan Panji. Dialah
ikhwan yang mengirimiku kotak hati warna merah itu. Dalam hati, aku heboh.
Namun sebisa mungkin ku atur nafasku supaya tak terlihat salting dan gugup di hadapannya. Karena, jika aku gugup, senanglah
ia dan hilang dengan mudahnya izzah-ku
di hadapannya.
Aku mengurangi
kecepatan berjalanku. Dia, Alan, menghampiriku, tentu saja dengan mengatur jarak.
“Mey,
assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Apa anti sudah
menerima..”
“Sudah.”
Alan tersenyum kecil.
“Lalu?”
“Aku, belum
membukanya.”, jawabku ketus tanpa melihatnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar