[Tarbawi
edisi special]
Alangkah pendek waktu ayah kita untuk merasa sebagai ayah dalam pengakuan
nyata kita
Setidaknya,
untuk suatu waktu tertentu, kita harus mengenang kembali ayah kita. Terlepas
ayah kita sudah wafat ataukah masih sehat, sejatinya ayah kita selalu ada,
selamanya. Maka menghadirkan kembali kenangan akan ayah tercinta seharusnya
bisa dilakukan oleh semua kita. Siapapun kita, seperti apapun ayah kita, dan
dimanapun kini ayah kita berada.
Sejak
ayah kita mengambil takdirnya untuk menjadi ayah, ia pasti tahu bahwa
kewajibannya sebagai ayah jauh lebih banyak dari apa yang mungkin bisa ia
harapkan dari anak-anaknya. Kebanyakan dari harapan itu pun bukan suatu
pengembalian yang ingin ia minta dari kita. Bukan. Tapi apa-apa yang terbaik
untuk kita juga. Maka
ibarat bertransaksi, ayah membelanjakan begitu banyak modal untuk
pertumbuhan kita, tapi begitu ada manfaat yang kita dapatkan dari pertumbuhan
itu, maka ayah pun menyerahkannya untuk kita lagi. Seperti seseorang yang
membeli berbagai barang berharga, setelah dibeli barang itu pun diberikan lagi
kepada penjualnya beserta uangnya.
Menjalani semua kewajiban sebagai ayah seperti
menyemai tanaman yang tak pernah tahu kapan dan seperti apa berbuahnya. Kita
anak-anaknya adalah makhluk yang terus berubah, berkembang tapi juga labil,
ranum membanggakan tapi juga sering menjengkelkan. Ibu kita mengandung Sembilan
bulan untuk menunggu kelahiran kita dengan bertaruh nyawa, lalu ayah kiita
menunggu belasan tahun sejak kita diberinya nama untuk bisa dilihat sebagai
manusia dewasa yang hidup dengan sepenuh kesadaran sebagai orang. Itu pun tak
jarang seperti bertepuk sebelah tangan.
Menghadirkan kembali kenangan akan ayah kita, pada sebagian hidup kita,
selalu relevan selamanya…
Mengenang
ayah dalam garis ketersambungan kita dengan hidup tidaklah mudah. Sebab kita anak-anaknya, sering gagal
memahami peran ayah pada keseluruhannya. Kita menghadirkan ayah kita hanya pada
beberapa potong dari seri hidup kita yang panjang. Ayah hanya
kita hadirkan dalam kesadaran kita di saat memerlukan uang,misalnya. Untuk
biaya kuliah, kita dengan lepas memintanya sebagai jatah. Tapi ketika kita
harus memulai hidup sendiri, kita tetap meminta uang. Entah untuk menyewa
kontrakan, atau menambah modal usaha kecil-kecilan. Kali ini kita bilang ke
ayah bahwa kita memijam. Tapi seiring waktu kita tak juga mengembalikan. Setiap
kali kita bilang ke ayah bahwa kita belum punya uang untuk membayar hutang, ia
pasti hanya tersenyum. Ia pun merelakan begitu saja.
Ayah hanya kita hadirkan ketika kita merasa harus
membuat keputusan besar dalam hidup. Meski tak jarang dan tanpa sadar, kita
ingin menjadikan ayah pendukung keputusan besar itu, agar kelak bila keputusan
itu salah atau gagal, kita bisa membagi rasa bersalah dengan ayah. Dan,
lucunya, bila kegagalan itu benar-benar terjadi, ayah kita pun dengan rela
menerima pembagian rasa bersalah itu. Lalu kita pun merasakan suasana batin
yang lebih ringan. Tidak semua tekanan tersesak di dada kita. Sebab ada ayah
kita yang turut mengambil beban.
Ayah kita memberikan seluruh hidupnya untuk kita, tapi
kita membagi sangat sedikit untuk ayah kita. Ayah kita mengorbankan seluruh
dirinya untuk kita, dan kita memberi penghargaan sangat sedikit untuk dirinya.
Kita, anak-anaknya, membebani pikiran ayah kita sepanjang waktu. Tapi pikiran
kita hanya sesekali waktu melintaskan kehadiran ayah kita.
Tanpa
kita tahu, tanpa kita sadari, sejujurnya begitu pendek saat-saat ayah kita
benar-benar merasakan sebagai ayah dalam pengakuan nyata kita. Namun, ayah kita
tidak berhenti memberi untuk kita apa-apa saja yang ia bisa beri. Bila situasi
semakin berat, ayah kita akan dengan tegar mengkonversi semua keterbatasan dan
ketidakpedulian anak-anaknya dengan sikap penerimaan yang tulus.
Sejatinya, ayah kita meletakkan diri kita di dalam
hatinya. Tapi bahkan kita pun tak setiap saat menempatkannya pada kenangan kita. Padahal pada
baju yang kita kenakan, ada tangan-tangan ayah. Sebagian atau bahkan semuanya.
Pada buku yang dulu kita pelajari, dan membuat kita layak menyandang gelar
lulusan SMU, lulusan kuliah, lulusan akademis, ada jerih payah ayah. Pada
sebagian penopang hidup yang membuat kita terus berlanjut, ada tangan-tangan
ayah kita.
Kadang kenangan akan ayah berubah menjadi rindu yang
tak kan terobati. Sebab ayah kita sudah pergi untuk selamanya. Mungkin kita
telah memastikan bahwa kita tak pernah menyakitinya, apalagi durhaka kepadanya.
Tapi percayalah, begitu ayah kita tiada, kita baru merasakan, betapa masih
banyak yang belum kita lakukan untuk ayah kita tercinta. Kita pasti
menyesal betapa belum banyak yang kita perbuat untuk membahagiakannya, meski
secuilpun ia tak pernah meminta kita membahagiakannya.
Seorang
lelaki berkisah kepada Tarbawi. Saat ayahnya meninggal, ia berusaha tegar dan
tidak menangis. Dalam sakitnya yang berbilang tahun, ia mencoba merawatnya.
Ketika teman-temannya berta’ziah, terman itu berkata, ”tapi sudah puas kan, berbaktinya?”.
Temannya itu melihat bahwa lelaki itu telah mencoba merawat ayahnya hingga
akhir hayat. Begitu temannya mengatakan kalimat itu, lelaki itu lari ke kamar
dan menangis panjang. Ia bisa tegar untuk kehilangan ayah tercinta. Tapi ia tak
akan bisa merasa telah puas berbakti pada ayahnya, ”Seberapapun yang telah kita lakukan, tidak ada kata
puas untuk berbakti pada orangtua,” kenangnya pada Tarbawi.
“Ayah, sungguh aku rindu padamu. Aku sangat
mencintaimu. Aku tahu bahwa hubungan kita sangat baik. Aku tahu bahwa engkau
sangat tahu seberapa besar cintaku padamu. Kini aku hanya ingin mengucapkannya
lebih sering lagi,”
(Ron Kesicki)
Minimal
sekali dalam hidupnya, ayah kita pasti pernah menangis untuk kita. Tapi pernahkan kita menitikkan airmata
untuk semua kebaikan ayah kepada kita yang tak bisa kita balas? Sampai
sejauh ini pun, saat
ayah kita semakin tampak lelah dan tua, atau bahkan telah pergi untuk
selamanya, mungkin kita masih juga belum menyelami lebih jauh isi hati dan
perasaan ayah kita. Dengan jadwal hidup kita yang semakin
rutin, kita tak pernah berhasil membuat kunjungan yang berkelas untuk ayah
kita. Padahal untuk perjalanan yang lain kita begitu sempurna menyapkan dan
menjalaninya.
Waktu
selalu pendek. Terlalu sedikit yang kita bagi. Padahal ayah kita ingin banyak
mendengar cerita dari kita. Ia mungkin tak mau secara khusus meminta kita.
Rasanya terlalu formal, seperti atasan meminta laporan. Seharusnya sesekali secara khusus
kita duduk bersama ayah untuk waktu yang lama, khusus untuk menceritakan apa
saja tentang diri kita. Atau bertanya tentang apa harapan-harapannya dari kita.
Pasti akan kita dapati raut muka dan air wajahnya berbeda. Pasti kenangan kita
akan ayah tercinta terasa berbeda.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar