Ya, saya memang sedang
mengalami booming virus jaman sekarang, gagal move on.
Ini bukan bercanda. Ternyata begini rasanya kegalauan anak-anak muda
Indonesia, hihihi. Saya memang bukan seorang yang menganut ajaran 'galau',
tapi toh bukan berarti saya tak pernah merasakan virus yang sedang merajalela
ini. Saya hanya khilaf, saya lupa diri, sungguh. Buktinya, saya masih bisa tertawa
lebar, hahaha...
Khilaf, lupa diri,
entah karena apa. Mungkin karena sampah materialistis yang sekian lama
menjejali otak saya, sehingga keluhuran nilai semacam itu terasa menakjubkan.
Seiring dengan pengalaman menyesakkan ini, terlintas kisah-kisah heroik
sahabat. Sahabat rasul, maupun sahabat saya, wkkwk. Dalam kasus dan
masalah-masalah saya, keberadaan sahabat adalah sangat berarti. Ada banyak
kisah pula yang semakin menguatkan bahwa ‘sahabat adalah seorang yang mengajak
kita terbang saat kita lupa bagaimana cara mengepakkan sayap’.
Salah satunya kisah
yang termuat di buku Memoar Hasan Al-Banna (diterbitkan Era Intermedia). Ada
sepasang sahabat di Mesir yang terlibat dalam perdebatan keras. Apa pasalnya?
Sangat unik! Dikisahkan bahwa si A hendak membeli barang yang dijual oleh si B.
Si B, karena merasa yang membeli adalah sahabat dekatnya, bersikukuh hendak
memberi diskon. Lucunya, si A, karena merasa membeli barang dagangan dari
sahabatnya sendiri, bersikeras hendak membeli dengan harga lebih, agar
keuntungan yang diterima sahabatnya itu bertambah banyak. Setelah berdebat,
akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk jual-beli sesuai harga, tanpa
diskon, tanpa harga lebih.
Subhanallah...
Kejadian ini memaksa
saya untuk berkaca. Saat ini, jika saya memiliki sahabat, saya justru
menganggap bahwa ini keuntungan buat saya. "Kasih diskon lebih dong," begitu kata saya kalau membeli
sesuatu darinya. Atau, kadang malah, "gratisin
yaaa?"
Sementara, di
kisah-kisah mulia yang digoreskan dalam lembaran sejarah, kita juga mengenal
berbagai kisah mendebarkan tentang para sahabat yang justru lebih mengutamakan
sahabat lainnya.
Di antara korban yang
berjatuhan di Perang Yarmuk, Hudzaifah al-Adwiy berusaha mencari keponakannya
dengan membawa seteko air. Akhirnya, dia menemukan kemenakannya tengah
tergeletak dalam kondisi luka parah. Hudzaifah berlutut, dan memberinya minum.
Namun, baru saja kemenakannya itu hendak minum, terdengar suara erangan dari
sampingnya. Spontan si kemenakan menunjuk ke arah sosok yang tengah mengerang
itu, memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada sosok
itu.
Hudzaifah pun bergeser
ke arah sosok yang mengerang itu, yang ternyata sedang kehausan, yang tak lain
adalah Hisyam bin ‘Ash. Akan tetapi, baru Hisyam hendak minum, kembali
terdengar suara mengaduh dari arah lain. Hisyam spontan memberi isyarat kepada
Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada orang tersebut. Hudzaifah menurut
dan bergerak, namun saat sampai ke lokasi, ternyata orang tersebut telah
meninggal. Lantas, ketika kembali ke Hisyam, lelaki itu pun telah meninggal,
demikian pula sang kemenakan, sementara teko berisi air di tangan Hudzaifah
masih utuh.
Kita juga teringat
akan kisah Abu Bakar Ash-Shidiq yang menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan
hijrah ke Madinah. Saat itu, mereka dikejar-kejar pasukan Kafir Quraisy, sampai
mereka kemudian menemukan sebuah gua untuk bersembunyi. Karena masih ada waktu,
Abu Bakar pun masuk terlebih dahulu untuk membersihkan gua. Mereka pun masuk
saat gua bersih. Namun, saat ada di dalam, Abu Bakar melihat ada satu lobang
yang belum ditutup. Khawatir bahwa lobang itu adalah sarang ular yang
membahayakan sahabat tercintanya, Rasulullah SAW, Abu Bakar pun menutup lubang
itu dengan ibu hari kakinya. Dan, ternyata benar, seekor ular berbisa mematuk
ibu jari kaki Abu Bakar.
Derajat persahabatan
zaman ini mungkin belum sampai pada taraf tersebut, yang oleh para ulama
dinamai dengan itsar, yang menurut para ulama dimaknai sebagai: “Mementingkan orang lain atas diri mereka
sendiri”. Akan tetapi, karena sifat inilah, Kaum Anshor dipuji oleh Allah
dan diabadikan dalam Al-Quran.
"Dan mereka mengutamakan (orang-orang
muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9)
Jadi, tidakkah kita
menginginkan pujian Allah juga tercurah kepada kita?