Senin, 02 Juni 2014

Nilai Sahabat

Ya, saya memang sedang mengalami booming virus jaman sekarang, gagal move on. Ini bukan bercanda. Ternyata begini rasanya kegalauan anak-anak muda Indonesia, hihihi. Saya memang bukan seorang yang menganut ajaran 'galau', tapi toh bukan berarti saya tak pernah merasakan virus yang sedang merajalela ini. Saya hanya khilaf, saya lupa diri, sungguh. Buktinya, saya masih bisa tertawa lebar, hahaha...

Khilaf, lupa diri, entah karena apa. Mungkin karena sampah materialistis yang sekian lama menjejali otak saya, sehingga keluhuran nilai semacam itu terasa menakjubkan. Seiring dengan pengalaman menyesakkan ini, terlintas kisah-kisah heroik sahabat. Sahabat rasul, maupun sahabat saya, wkkwk. Dalam kasus dan masalah-masalah saya, keberadaan sahabat adalah sangat berarti. Ada banyak kisah pula yang semakin menguatkan bahwa ‘sahabat adalah seorang yang mengajak kita terbang saat kita lupa bagaimana cara mengepakkan sayap’.

Salah satunya kisah yang termuat di buku Memoar Hasan Al-Banna (diterbitkan Era Intermedia). Ada sepasang sahabat di Mesir yang terlibat dalam perdebatan keras. Apa pasalnya? Sangat unik! Dikisahkan bahwa si A hendak membeli barang yang dijual oleh si B. Si B, karena merasa yang membeli adalah sahabat dekatnya, bersikukuh hendak memberi diskon. Lucunya, si A, karena merasa membeli barang dagangan dari sahabatnya sendiri, bersikeras hendak membeli dengan harga lebih, agar keuntungan yang diterima sahabatnya itu bertambah banyak. Setelah berdebat, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk jual-beli sesuai harga, tanpa diskon, tanpa harga lebih.

Subhanallah... 
Kejadian ini memaksa saya untuk berkaca. Saat ini, jika saya memiliki sahabat, saya justru menganggap bahwa ini keuntungan buat saya. "Kasih diskon lebih dong," begitu kata saya kalau membeli sesuatu darinya. Atau, kadang malah, "gratisin yaaa?"

Sementara, di kisah-kisah mulia yang digoreskan dalam lembaran sejarah, kita juga mengenal berbagai kisah mendebarkan tentang para sahabat yang justru lebih mengutamakan sahabat lainnya.

Di antara korban yang berjatuhan di Perang Yarmuk, Hudzaifah al-Adwiy berusaha mencari keponakannya dengan membawa seteko air. Akhirnya, dia menemukan kemenakannya tengah tergeletak dalam kondisi luka parah. Hudzaifah berlutut, dan memberinya minum. Namun, baru saja kemenakannya itu hendak minum, terdengar suara erangan dari sampingnya. Spontan si kemenakan menunjuk ke arah sosok yang tengah mengerang itu, memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada sosok itu.
Hudzaifah pun bergeser ke arah sosok yang mengerang itu, yang ternyata sedang kehausan, yang tak lain adalah Hisyam bin ‘Ash. Akan tetapi, baru Hisyam hendak minum, kembali terdengar suara mengaduh dari arah lain. Hisyam spontan memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada orang tersebut. Hudzaifah menurut dan bergerak, namun saat sampai ke lokasi, ternyata orang tersebut telah meninggal. Lantas, ketika kembali ke Hisyam, lelaki itu pun telah meninggal, demikian pula sang kemenakan, sementara teko berisi air di tangan Hudzaifah masih utuh.

Kita juga teringat akan kisah Abu Bakar Ash-Shidiq yang menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Saat itu, mereka dikejar-kejar pasukan Kafir Quraisy, sampai mereka kemudian menemukan sebuah gua untuk bersembunyi. Karena masih ada waktu, Abu Bakar pun masuk terlebih dahulu untuk membersihkan gua. Mereka pun masuk saat gua bersih. Namun, saat ada di dalam, Abu Bakar melihat ada satu lobang yang belum ditutup. Khawatir bahwa lobang itu adalah sarang ular yang membahayakan sahabat tercintanya, Rasulullah SAW, Abu Bakar pun menutup lubang itu dengan ibu hari kakinya. Dan, ternyata benar, seekor ular berbisa mematuk ibu jari kaki Abu Bakar.

Derajat persahabatan zaman ini mungkin belum sampai pada taraf tersebut, yang oleh para ulama dinamai dengan itsar, yang menurut para ulama dimaknai sebagai: “Mementingkan orang lain atas diri mereka sendiri”. Akan tetapi, karena sifat inilah, Kaum Anshor dipuji oleh Allah dan diabadikan dalam Al-Quran. 

"Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9)


Jadi, tidakkah kita menginginkan pujian Allah juga tercurah kepada kita?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar