Oleh : M. Anis Matta, Lc.
Kakinya berdarah-darah. Orang-orang
Thoif bukan saja menolak dakwahnya. Tapi juga menggunakan kekerasan untuk
menolak dakwahnya. Setelah Quraisy menolak habis dakwahnya, dan orang-orang
mulia seperti Khadijah yang menjadi tulang punggungnya wafat, kini anak-anak
Thoif melemparinya batu. Sampai ia berlumuran darah. Di saat seperti itulah
Jibril datang menawarkan bantuan : biar kuhancurkan mereka semua!
Menggoda betul tawaran Jibril itu. Tapi, “Tidak!” jawab Rasulullah saw kepada Jibril. “Aku bahkan memohon penangguhan untuk mereka. Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Bukhari dan Muslim)
Seandainya ia seorang pendendam, ia pasti menerima tawaran Jibril itu. Tapi tidak! Ia seorang pencinta. Dan ia sadar bahwa ia bisa mengubah komunitas penggembala kambing yang angkuh di Jazirah Arab menjadi pemimpin-pemimpin peradaban dunia yang rendah hati. Hanya dengan kekuatan cinta. Dan itulah yang kemudia terjadi : hanya dalam waktu 22 tahun 2 buan dan 22 hari, beliau merampungkan tugas kenabiannya dengan membawa seluruh jazirah kedalam cahaya Islam.
Cinta adalah kekuatan perubahan yang dahsyat. Lima belas abad kemudian, Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam proses perubahan :
“Pendekatan cinta adalah kebalikan dari pendekatan dengan kekerasan. Cinta berusaha memahami, menguatkan dan menghidupkan. Dengan cinta, seorang individu akan selalu mentransformasikan dirinya. Dia menjadi lebih peka, lebih menghargai, lebih produktif, lebih menjadi dirinya sendiri. Cinta tidak sentimental dan tidak melemahkan. Cinta adalah cara untuk mempengaruhi dan merubah sesuatu tanpa menimbulkan ‘efek samping’ sebagaimana kekerasan. Tidak seperti kekerasan, cinta membutuhkan kesabaran, usaha dari dalam. Lebih dari semua itu, cinta membutuhkan keteguhan hati. Menyelesaikan masalah dengan membutuhkan keteguhan hati untuk terhindar dari frustasi, untuk tetap sabar meskipun menemui banyak hambatan. Cinta lebih membutuhkan kekuatan dari dalam, kepercayaan daripada sekedar kekuatan fisik.” (Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender, 291;2002).
Kalau Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam merubah individu dan masyarakat dengan bahasa psikososial, maka Iqbal menjelaskannya dalam bait-bait puisinya :
Kekuatan
cinta bukan dari tanah, air dan udara,
kekuatannya
bukan keliatan urat asalnya;
cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
cinta
membelah badan bulan,
cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
menghancurkan tentara Fir’aun tanpa pertempuran.
(Javid Namah; 29; 2003)










